DPR Sahkan UU Cipta Kerja, Ini Alasan Mengapa UU Cipta Kerja Tuai Kontroversi Publik

- 6 Oktober 2020, 10:28 WIB
Suasana Rapat Paripurna DPRD DIY di Ruag Rapat Paripura DPRD DIY pada, Rabu, 5 Agustus 2020
Suasana Rapat Paripurna DPRD DIY di Ruag Rapat Paripura DPRD DIY pada, Rabu, 5 Agustus 2020 /Humas/Pemda DIY

Berita DIY - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 5 Oktober 2020 dalam Rapat Paripurna DPR secara resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.

Pengesahan ini menuai banyak kontroversi di berbagai tempat dan kalangan masyarakat karena langkah pengesahan ini terbilang cukup terburu-buru dan mengabaikan opini rakyat terkait pasal-pasal omnibus law.

Sebagaimana diketahui, UU Cipta Kerja ditujukan untuk percepatan perbaikan ekonomi pasca pandemi Covid-19 dan untuk memuluskan jalan ekonomi investasi di Indonesia.

Meski demikian, pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja dinilai merugikan golongan pekerja dan menguntungkan para pemilik modal dan investor.

Baca Juga: Belum Lolos Kartu Prakerja? Kemnaker Luncurkan Program JPS Untuk Prakerja dan Pengangguran

Baca Juga: Lakukan Ini dan Dapatkan Token Listrik Gratis untuk Oktober 2020 dari PLN, Melalui WA dan Website

UU Cipta Kerja disetujui oleh tujuh fraksi, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sementara pihak fraksi yang menolak adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.

Berikut alasan mengapa UU Cipta Kerja menuai kontroversi:

Penghapusan upah minimum kabupaten/kota (UMK)

Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah mengganti upah minimum kabupaten/kota (UMK) dengan upah minimum provinsi (UMP) yang dinilai dapat menjatuhkan penghasilan pekerja karena kompetensi dan kapasitas ekonomi setiap kabupaten/kota yang berbeda namun hal ini harus disamaratakan.

Baca Juga: Kemenkeu Sebut Tahun 2021 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Dapat Capai Angka 5 Persen

Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH.

Pengaturan jam lembur yang relatif lebih lama

Jam lembur yang diatur dalam UU Cipta Kerja termuat dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.

Regulasi ini lebih lama dibandingkan dengan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.

Pemangkasan jam istirahat kerja

Pasal 79 ayat 2 poin b menyebutkan bahwa waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Pengaturan ini lebih singkat jika dibandingkan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.

Baca Juga: Paslon Lawan Gibran, Bagyo Wahyono Lakukan Kampanye Door to Door Untuk Lebih Dekat Dengan Rakyat

Baca Juga: Anies Baswedan Terancam Turun Jabatan Dari Gubernur DKI Jakarta Karena Hal Ini?

Kemudahan Rekrutmen Tenaga Kerja Asing

Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pada UU Cipta Kerja prasyarat berkerja bagi TKA lebih mudah dan hal ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan tersingkirnya tenaga kerja lokal karena peluang masuknya TKA lebih mudah dibanding dengan sebelumnya.

Hingga saat ini, belum diketahui pasti apa alasan UU Cipta Kerja yang dinilai omnibus law disahkan lebih cepat dari dugaan masyarakat dan penggarapan pengesahan yang dipandang buru-buru tersebut.***

Editor: Nia Sari

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x