Pancasila Sebagai Sistem Filsafat dan Refleksi Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Kehidupan Beragama

- 16 April 2021, 18:51 WIB
Lambang Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Indonesia.
Lambang Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Indonesia. /bpip.go.id

BERITA DIY - Pancasila ialah ideologi yang diakui oleh seluruh rakyat Indonesia dan diharapkan mampu membawa kedamaian dan menyemai rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa yang merdeka.

Ali Mudhofir, Pengajar Fakultas Filsafat UGM dalam jurnal 'Pancasila Sebagai Sistem Kefilsafatan' menyebut Pancasila sebagai sistem filsafat yang berisi ajaran-ajaran tentang kenyataan yang terkoordinasi dengan ciri-ciri harus comprehensive (komprehensif).

Sistem filsafat Pancasila mengandung maksud dan tujuan tertentu sebagaimana yang diharapkan oleh mereka yang mempercayai bahwa sistem filsafat yang dianutnya dapat mencapai kebenaran yang mutlak.

Baca Juga: Teks Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Indonesia: Lengkap Bunyi Sila, Lambang, dan Maknanya

Dalam tinjuan filsafat Pancasila (tinjauan Pancasila secara kefilsafatan), sila-sila Pancasila adalah kesatuan yang bersifat organis dan terdiri dari bagian-bagian yang tidak terpisahkan. Tiap-tiap bagian memiliki kedudukan serta menjalankan fungsinya tersendiri mengisi satu sama lain dan tanpa saling bertentangan.

Konsekuensi dari sifat sebagaimana di atas, salah satu dari sila Pancasila tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan. Oleh karena itu, filsafat Pancasila dikatakan sebagai sistem kefilsafatan sebagai hasil pemikiran manusia atau rakyat Indonesia secara mendalam, sistematik, dan menyeluruh tentang sebuah kenyataan.

Sistem kefilsafatan Pancasila pada hakikatnya mencerminkan pandangan suatu kelompok atau bangsa yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, sosial, dan spiritual tempat suatu kelompok atau bangsa itu tinggal.

Baca Juga: Sejarah dan Perkembangan Tarian Barongsai, Kebudayaan Tionghoa yang Khas di Perayaan Imlek

Sebagai sistem kefilsafatan pula, Pancasila mencerminkan pandangan Bangsa Indonesia mengenai Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil. Maka karenanya, Pancasila pada hakikatnya terdiri dari nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan atau Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan.

Mengkaji mengenai satu dari nilai-nilai filosofis Pancasila tentu tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang lainnya karena Pancasila adalah sistem filsafat yang merupakan kesatuan dan masing-msing sub-sistem saling bersinergi.

Nilai Ketuhanan ditempatkan pada sila pertama Pancasila tentu bukan tanpa alasan. Soekarno sebagai pencetus Pancasila pada 1 Juni 1945 dalam pidatonya di sidang BPUPKI mengemukakan ide mengenai dasar negara yang dirancangnya dan digali dari history dan peradaban masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Rendang: Hasil Pertemuan Budaya India dan Budaya Minangkabau Indonesia

Nilai Ketuhanan juga hampir dicetuskan oleh seluruh peserta sidang yang hadir khususnya para golongan agama Islam yang lebih memberikan spesifikasi dan mengusulkan redaksi 'Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Namun usulan ini menuai banyak kritik khususnya bagi golongan pemeluk agama lain selain Islam, dan golongan nasionalis.

Peletakan sila Ketuhanan Yang Maha Elsa menjadi sila pertama dalam Pancasila mengandung konsekuensi bahwa definisi berketuhanan haruslah sama sebagai dasar dalam bergaul berbangsa dan bernegara.

Pilar pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, dinyatakan dua kali dalam konstitusi (dalam pembukaan dan pasal 29 UUD NRI Tahun 1945) mendefinisikan Indonesia sebagai negara monoteistik agama, bukan negara sekuler atau negara Islam.

Baca Juga: Menyalip Kendaraan Lain Ada Ketentuannya, Kapan dan Bagaimana Cara Menyalip yang Benar?

Untuk diakui sebagai agama resmi di Indonesia ini, politeistik dan non-teistik harus mengubah keyakinan teologis mereka. Hal ini lah yang sulit bagi penganut penghayat aliran kepercayaan.

Filsafat ini telah diterapkan pada agama minoritas seperti Hindu, Budha, dan Konfusianisme. Sayangnya, modifikasi tersebut belum berhasil dalam konteks agama adat. Mereka sering dilihat hanya sebagai sistem kepercayaan, bukan agama.

Sebagai contoh adalah kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda atau masyarakat di Jawa Barat, khususnya di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Sunda Wiwitan adalah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda, diyakini sebagai agama bagi mereka dan menuntut adanya pencatatan agama Sunda Wiwitan di Kartu Tanda Penduduk atau KTP masing-masing masyarakat.

Baca Juga: Peraturan Keselamatan Pesepeda Resmi Terbit, Simak Sepeda Ideal Versi Permenhub Nomor 59 Tahun 2020

Masyarakat penganut Sunda Wiwitan kesusahan dalam mencatatkan agamanya, karena mereka hanya diwajibkan untuk memilih salah satu agama untuk dicatatkan dalam KTP. Namun hal itu tidak ingin mereka lakukan karena mereka hanya menginkan agama yang tertulis dalam identitas mereka adalah agama yang memang mereka anut yakni Sunda Wiwitan.

Meski pemerintah telah hadir dan mencoba menyelesaikan permasalahan demi mewujudkan keadilan masyarakat penghayat tersebut, namun rasa keadilan belum dapat ditegakkan secara penuh.

Hal ini dikarenakan definisi agama dan berketuhanan yang berbeda dari dua sisi yang saling berdiri sendiri. Penghayat Sunda Wiwitan yang meyakini Sunda Wiwitan sebagai agama bagi mereka, dan mayoritas masyarakat yang tidak mengakui keberadaan Sunda Wiwitan sebagai agama.

Baca Juga: Presiden Jokowi Cabut Izin Investasi Miras, Mahfud MD: Pemerintah Tak Alergi Kritik dan Saran

Diskriminasi juga dirasakan oleh penghayat Sunda Wiwitan meski pemerintah telah hadir sebagai jalan tengah, namun secara faktual masyarakat penghayat tidak dapat mencatatkan Sunda Wiwitan sebagai agamanya, melainkan hanya sebatas aliran kepercayaan.

Pencatatan hanya dilakukan di Dinas Kebudayaan seolah Sunda Wiwitan hanyalah warisan luhur dan suatu kebudayaan bagi masyarakat penghayat.

Hal ini bisa dikatakan suatu persebrangan dari amanah konstitusi pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.Masyarakat penghayat Sunda Wiwitan tidak mendapatkan kemerdekaan beragama dan beribadat yang diharapkan sesuai dengan amanat konstitusi.

Meski demikian, konsekuensi dari amanat konstitusi Pasal 29 ayat (2) menimbulkan penafsiran bahwa barang siapa yang menganut suatu agama selama diyakininya maka ia memiliki kemerdekaan untuk beribadat sesuai agama dan kepercayaannya.

Baca Juga: Tanggapi Cuitan Mahfud MD Soal KLB Partai Demokrat, Ernest Prakasa: Itu lho yang Bikin Kusut

Kondisi terkini kehidupan beragama Indonesia jika dahulu para penghayat yang selama ini ingin diperlakukan setara sebagaimana warga negara Indonesia lain serta tak lagi mengalami tindak diskriminasi di ranah administratif maupun di ranah sosial-politik yang belum mendapatkan kesetaraan yang berimbang dengan pemeluk agama lainnya.

Ketuhanan Yang Maha Esa dari kacamata filsafat menunjukkan bahwa secara tidak sadar intoleransi dan nasionalisasi sebagai sesuatu yang telah tertanam dalam ideologi Indonesia telah menetapkan Indonesia menjadi negara monoteistik religius, yang memberikan pemerintah piranti yang diperlukan untuk masuknya agama-agama non-teistik, politeistik, dan non-monoteistik.

Pancasila juga membenarkan keberadaan favoritisme untuk agama-agama tertentu yang cocok dengan ideologi Negara Indonesia. Akar intoleransi beragama dapat ditemukan dalam konstitusi Indonesia dan ideologi negara Pancasila.

Baca Juga: Minat Memulai Bisnis Indomaret? Ini Modal Usaha, Syarat, dan Tahap yang Harus Dilakukan

Perlakuan diskriminatif terhadap agama minoritas telah tertanam sejak berdirinya Negara Indonesia. Pilar pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, dinyatakan dua kali dalam konstitusi (dalam pembukaan dan pasal 29) mendefinisikan Indonesia sebagai negara monoteistik agama, bukan negara sekuler atau negara Islam.

Namun mengubah pilar pertama Pancasila adalah sesuatu yang sulit karena merubah Pancasila itu berarti merubah Negara Indonesia yang sudah berdiri sejak lama berkat tumpah darah para pahlawan dan pejuang (proklamator) kemerdekaan Negara Indonesia.***

Editor: Iman Fakhrudin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x