Pancasila Sebagai Sistem Filsafat dan Refleksi Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Kehidupan Beragama

- 16 April 2021, 18:51 WIB
Lambang Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Indonesia.
Lambang Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Indonesia. /bpip.go.id

Mengkaji mengenai satu dari nilai-nilai filosofis Pancasila tentu tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang lainnya karena Pancasila adalah sistem filsafat yang merupakan kesatuan dan masing-msing sub-sistem saling bersinergi.

Nilai Ketuhanan ditempatkan pada sila pertama Pancasila tentu bukan tanpa alasan. Soekarno sebagai pencetus Pancasila pada 1 Juni 1945 dalam pidatonya di sidang BPUPKI mengemukakan ide mengenai dasar negara yang dirancangnya dan digali dari history dan peradaban masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Rendang: Hasil Pertemuan Budaya India dan Budaya Minangkabau Indonesia

Nilai Ketuhanan juga hampir dicetuskan oleh seluruh peserta sidang yang hadir khususnya para golongan agama Islam yang lebih memberikan spesifikasi dan mengusulkan redaksi 'Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Namun usulan ini menuai banyak kritik khususnya bagi golongan pemeluk agama lain selain Islam, dan golongan nasionalis.

Peletakan sila Ketuhanan Yang Maha Elsa menjadi sila pertama dalam Pancasila mengandung konsekuensi bahwa definisi berketuhanan haruslah sama sebagai dasar dalam bergaul berbangsa dan bernegara.

Pilar pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, dinyatakan dua kali dalam konstitusi (dalam pembukaan dan pasal 29 UUD NRI Tahun 1945) mendefinisikan Indonesia sebagai negara monoteistik agama, bukan negara sekuler atau negara Islam.

Baca Juga: Menyalip Kendaraan Lain Ada Ketentuannya, Kapan dan Bagaimana Cara Menyalip yang Benar?

Untuk diakui sebagai agama resmi di Indonesia ini, politeistik dan non-teistik harus mengubah keyakinan teologis mereka. Hal ini lah yang sulit bagi penganut penghayat aliran kepercayaan.

Filsafat ini telah diterapkan pada agama minoritas seperti Hindu, Budha, dan Konfusianisme. Sayangnya, modifikasi tersebut belum berhasil dalam konteks agama adat. Mereka sering dilihat hanya sebagai sistem kepercayaan, bukan agama.

Sebagai contoh adalah kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda atau masyarakat di Jawa Barat, khususnya di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Halaman:

Editor: Iman Fakhrudin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x