Karya sastra kita tidak akan manju jika puisi=puisi yang ditulis hanya berorientasi pada honor.
Honor akan ada jika puisi dimonetisasi. Gerakan Sajak Kofe, tanpa sponsor tunggal. Ini idealisme segelintir penyair yang studi S2 dan S3 di luar negeri dan membawa konsep puisi pascakontemporer ke Tanah Air.
Untuk memahami gerakan ini memang butuh waktu, ya minimal 3-5 tahun agar pesan yang diusung dapat dipahami oleh masyarakat perpuisian Indonesia, terutama bagi kaum penyair terpelajar. Salam, Tim Redaktur Sajak Kofe
Sontak saja, isi percakapan itu membuat netizen geram. Beragam tanggapan pun muncul.
"Menulis sastra itu labor. Wajar banget orang nanya kalau tulisan dimuat dikasih honor atau enggak. Yang nggak wajar justru kalau tanggapannya masih bla bla bla puisi itu idealisme bla bla bla ngana ngofey emang nggak pake duit. Kalo ga ada honor kan tinggal bilang aja nggak ada," tulis akun @pradewitch.
"Arogan banget. Penulis harus bisa dibayar untuk karyanya. Dan memang kenapa kalau menulis untuk honor? Jaman saya kuliah, saya menulis cerpen utk diterbitkan di koran2 pun justru karena saya mau dapat duitnya buat tambahan biaya hidup haha. Kalau ga dibayar ya ga mau," tulis akun @risyiana.
Menanggapi ramainya kejadian tersebut di media sosial, pihak Kofe Sajak pun mengunggah permohonan maaf di akun Instagram.
"Tim Sajak Kofe memohon maaf kepada saudari Iin Farliani atas kesalahpahaman dalam proses berkomunikasi. Tetaplah berkarya dan sukses selalu. Salam budaya!," tulis unggahan pada Selasa, 21 Desember 2021 dini hari.***