Di Solo, contohnya, Malam Satu Suro dihiasi dengan kirab atau iring-iringan, di mana Kebo Bule, hewan kesayangan keraton Surakarta yang dianggap keramat, menjadi daya tarik utama.
Selain itu, tradisi serupa juga berlangsung di Yogyakarta, di mana abdi dalem keraton mengikuti kirab dengan membawa tumpeng dan benda pusaka.
Selain kirab, tradisi Tapa Bisu juga dilakukan di Yogyakarta. Dalam tradisi ini, seseorang akan berkeliling keraton Yogyakarta tanpa mengucapkan sepatah katapun, sebuah bentuk perenungan diri dan upaya mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Ini adalah sebagian dari sejumlah ritual yang dilakukan pada malam ini, yang semuanya memiliki makna dan tujuan spiritual yang dalam.
Namun, apa sebenarnya arti dari Malam Satu Suro? Solikhin dalam buku berjudul Misteri Bulan Suro perspektif Islam Jawa menjelaskan bahwa Suro adalah sebutan bulan Muharram dalam masyarakat Jawa, berasal dari kata Arab Asyura, yang berarti sepuluh, merujuk pada hari ke-10 bulan Muharram.
Sementara itu, Yayu Wulandari dalam studinya memaparkan bahwa peringatan Malam Satu Suro dimulai dari terbenamnya matahari pada tanggal terakhir bulan terakhir kalender Jawa (29/30 bulan besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya.
Menyambut Malam Satu Suro, masyarakat Jawa biasa berkumpul di masjid untuk melakukan prosesi tradisi Suro atau yang sering dikenal dengan Satu Muharram.
Seluruh aktivitas ini disebut sebagai suroan, artinya melakukan kegiatan pada bulan Suro. Malam Satu Suro merupakan momen yang sakral, oleh karena itu, perayaan ini masih terus dipertahankan sampai saat ini. Masyarakat Jawa percaya bahwa tradisi perayaan Malam Satu Suro dapat membawa berkah bagi masyarakat.