Hukum mengenai puasa di hari Jumat ini terdapat dalam kitab Al-Shiyam milik Imam Muslim dalam bab karohat shiyam yaum al-jumu’ah munfaridan (makruh berpuasa pada hari Jumat secara tersendiri, tanpa diiringi puasa pada hari sebelum atau sesudahnya).
Hukum mengenai puasa di hari Jumat ini juga terdapat dalam kasus Juwairiyah binti al-Harits, istri Rasulullah yang merupakan pemuka kaum Bani Musthaliq yang sedang melakukan puasa sunnah di hari Jumat.
Dari Abu Ayyub dari Juwairiyah binti al-Harits radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuinya di hari Jumat. Saat itu Juwairiyah sedang berpuasa. Nabi bertanya, “Apakah kau kemarin berpuasa?” Juwairiyah menjawab, “Tidak.” Nabi melanjutkan, “Besok kau akan berpuasa?” “Tidak”, jawab Juwairiyah. “Jika demikian, batalkanlah”, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam kitab Tuhfat al-Habib, disebutkan, bahwa yang dihukumi makruh berpuasa adalah berpuasa hanya pada hari Jumat, atau hari Sabtu, atau hari Minggu.
Sehingga hukum makruh itu adalah karena menyendirikan (infirad) berpuasa hanya pada satu hari tertentu dan tidak dibarengi dengan hari sebelum atau hari sesudahnya.
Tetapi hukum makruh itu berlaku jika tanpa suatu sebab. Karenanya, jika terdapat suatu sebab, misalnya kebiasaan berpuasa Daud, maksudnya, sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa, maka tidak ada hukum makruh dalam praktik puasa ini.
Dalam kitab Subul al-Salam, ketika menjelaskan hadis riwayat Abu Hurairah tentang larangan mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat, Imam al-Shan'ani menjelaskan pandangan jumhur ulama.
Dalam pandangan tersebut, larangan berpuasa hanya pada hari Jumat itu bersifat makruh tanzih, sebagaimana hadis Ibnu Mas'ud, bahwa “Rasulullah SAW berpuasa tiga hari pada setiap bulan, dan sedikit sekali tidak berpuasa pada hari jum’at”.