Panic Buying Susu Kaleng Saat PPKM Trending di Twitter, Begini Penjelasan Secara Psikologis

3 Juli 2021, 16:55 WIB
Tangkapan layar memperlihatkan pembeli sedang berebut atau panic buying memburu produk susu kaleng saat PPKM. /Tangkapan layar Instagram/abouttngid

BERITA DIY - Publik Twitter dan Instagram sedang ramai membicarakan fenomena panic buying sebuah produk susu ketika PPKM Jawa Bali dimulai.

Panic buying sendiri adalah suatu fenomena di mana masyarakat secara bersamaan membeli bahan makanan, bahan bakar, atau produk lainnya, karena ketakutan sesuatu yang tak diinginkan akan terjadi.

Sehingga, panic buying membantu menyuplai stok kebutuhan yang dianggap penting jika suatu saat produk-produk itu sudah sulit ditemukan di pasaran.

Baca Juga: Daftar Perjalanan Kereta Api Lokal dan Kereta Api Jarak Jauh yang Dibatalkan Selama PPKM Darurat

Fenomena demikian sebenarnya telah terjadi beberapa waktu lalu di Indonesia. Sesaat setelah pemerintah mengumumkan kasus pertama Covid-19, masyarakat beramai-ramai memborong bahan pangan, masker, hand sanitizer, dan sebagainya.

Adapun kabar yang beredar baru-baru ini, video berdurasi 30 detik menunjukkan pengunjung sebuah pasar swalayan yang sedang berebut susu kaleng merk Bear Brand.

Berdasarkan penelusuran, video diunggah oleh akun Instagram @abouttngid. Kolom caption mengatakan kejadian itu berada di sebuah pusat perbelanjaan di Jatiwulung, Kota Tangerang, Provinsi Banten.

Baca Juga: Antisipasi Dampak PPKM Darurat, Risma Upayakan Bansos Kemensos Cair Pekan Ini, Berikut Link Cek BST Kemensos

Tindakan tersebut diduga disebabkan oleh isu khasiat susu yang beredar terhadap kesehatan dan juga pelaksanaan PPKM di Jawa dan Bali. Sehingga, masyarakat beramai-ramai memburu produk tersebut.

Panic buying memiliki penjelasan psikologis. Fenomena demikian yang terjadi saat ini masih berkaitan dengan Covid-19 dan pembatasan sosial PPKM.

Melansir dari tulisan Melissa Norberg dan Dereck Rucker pada laman The Conversation, panic buying ditengarai oleh membeli barang secara berlebihan.

Baca Juga: Segera Cair! Ini Daftar Bansos yang Cair saat PPKM Darurat Serta 3 Link BST, BPNT dan Kartu Prakerja Juli 2021

Orang-orang mengalami ketakutan untuk mendapatkan kesulitan di masa depan dalam memperoleh barang. Kondisi ini lalu mengubah psikologis masyarakat bahwa barang-barang lebih bernilai saat pasokannya menjadi sedikit.

Ketidakpastian pandemi yang belum tahu kapan berakhir juga dapat memengaruhi seseorang menunjukkan perilaku ini.

Tak hanya itu, beberapa produk atau merk tertentu memiliki kegunaan psikologis dan dapat menenangkan pikiran serta sugesti, seperti halnya sebagian orang yang percaya kasiat dari susu kaleng.

Baca Juga: Sultan Minta Seluruh Pihak Bekerja Sama dalam Pemberlakuan PPKM untuk Mengurangi Covid-19 di DIY

Norberg dan Rucker menekankan bahwa menjadi cemas itu adalah hal yang wajar. Namun, jangan sampai pada akhirnya membeli barang dengan jumlah yang tidak wajar. 

Didukung oleh penemuan Edna B. Foa dan Carmen P, McLean (2016) yang mengatakan bahwa rasa cemas dapat dibuang dengan cara merubah perilaku yang tidak bermanfaat.

Cara serupa juga dapat diatasi dengan menerapkan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau juga sering disebut dengan terapi kognitif.

Baca Juga: Penumpang Garuda Indonesia Berhak Dapat VAKSIN GRATIS! Simak Tata Cara, Jam Buka, dan Syaratnya

Praktik CBT dapat dilakukan dengan melatih cara manusia berpikir dan berperilaku terhadap segala sesuatu yang sedang dihadapi.

Dalam kasus panic buying di tengah Covid-19, CBT juga dapat diterapkan untuk mengatasi kecemasan berbelanja ekstrem atau berlebihan.

Masyarakat lebih baik membuat daftar barang atau produk makanan yang diperlukan sebelum berbelanja. Selain itu, diharapkan meneliti bahan mana yang akan habis di rumah.

Baca Juga: Daftar Online di Link Ini Agar Dapat BPUM Tahap 3 Juli 2021, Ada 500 Ribu Kuota Penerima BLT UMKM BRI dan BNI

Cara demikian dapat membantu untuk tidak berbelanja berlebihan dan ikut panik melihat orang lain mengambil produk tertentu.

Jika dirasa perlu membeli produk yang memiliki kasiat kesehatan, lebih baik menunggu informasi dari badan berwenang atau konsultasi dengan yang ahli***

Editor: Iman Fakhrudin

Sumber: The Conversation

Tags

Terkini

Terpopuler