Sidang Jumat Rahimakumullah
Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila keempat ini merujuk pada surat Asy-Syuro, ayat 38 sebagai berikut:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Ayat di atas secara jelas menekankan agar para pemimpin melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat dan menjadikannya prioritas dalam megambil keputusan. Ayat ini juga melarang dilakukannya cara-cara yang memaksakan kehendak kepada orang lain, tetapi lebih menekankan musyawarah atau dialog yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meskipun dalam pelaksanaannya ada yang harus melalui perwakilan masing-masing.
Selain merujuk pada surah Asy-Syura, ayat 38 tersebut, sila keempat ini juga sejalan dengan kaidah fiqhiyah sebagai berikut:
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.
Kaidah fiqhiyah tersebut merupakan rumusan yang ditegaskan oleh Imam Syafii yang meyakini bahwa kedudukan seorang pemimpin merupakan kedudukan yang setara dengan seorang wali terhadap anak yatim. Maksudnya adalah seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakannya berorientasi kepada kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya dan bukan malah sebaliknya merugikan dan menyengsarakan mereka.