Keterangan justice collaborator dalam persidangan tersebut akan dipertimbangkan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Tersangka yang dapat pengajuan justice collaborator akan mendapat perlindungan hukum dari penegaknya.
Istilah justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an.
Adanya justice collaborator terkait dengan susahnya menyelesaikan kasus para mafia. Di mana, mafia selalu tutup mulut jika tertangkap oleh polisi.
Pada perkembangan terkini, tersangka yang diajukan sebagai justice collaborator kebanyakan dalam kasus korupsi.
Dalam hukum perundang-undangan Indonesia, adanya justice collaborator diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pun, justice collaborator juga diatur di Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Kriteria dan syarat tersangka bisa sebagai justice collaborator:
1. Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut.