Dikutip dari Antara, walaupun pada 1991 USSR telah bubar dan menjadi Rusia, diakui jika Rusia yang memiliki sejarah sebagai negara besar tidak ingin berpindah haluan begitu saja menjadi negara yang liberal dan demokratis.
Memang pada masa Presiden Mikhaïl Gorbatchev Rusia sempat condong ke Barat, hingga mencanangkan untuk membangun "The Common European Home" pada akhir 1980.
Ide ini kemudian disambut oleh Menteri Luar Negeri AS pada saat itu, James Baker, untuk membentuk suatu sistem keamanan yang terdapat di dalamnya AS, Eropa, dan Rusia.
Dapat dibayangkan, aliansi ini akan mencakup dari Vancouver, Kanada hingga Vladivostok, kota yang berada di wilayah Rusia Timur jauh.
Namun, Rusia memiliki satu kondisi untuk setuju terhadap rencana aliansi ini, di mana Rusia bisa tetap memiliki pengaruhnya di Eropa timur.
Rusia melakukan berbagai cara untuk menjaga wilayah bekas Uni Soviet tetap pada radarnya.
Salah satunya adalah dengan dibentuknya Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) pada 1991 dan perjanjian ini ditandatangani sebelas negara, yakni Armenia, Azerbaijan, Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan melalui perjanjian Belavezh.
Di bawah Presiden Boris Yeltsin, organisasi ini memiliki tiga tujuan, yakni memperkuat CIS sebagai organisasi, mengonsolidasi hubungan negara anggota, dan memperkuat kerja sama bilateral antar anggota.
Dengan memiliki organisasi baru yang cukup menjanjikan, karena sebagian besar negara bekas Uni Soviet bergabung di dalamnya dan mendapat janji secara lisan dari AS bahwa NATO tidak akan memperluas pengaruhnya ke Eropa Timur, membuat Rusia cukup percaya diri untuk sementara waktu.