BERITA DIY - Selepas Zuhur, Kamis, 30 November 2023, angin kencang terasa jelas menusuk tulang. Hujan deras beberapa kali mengguyur area Greenrock Cafee, Coban Rondo, Malang.
Sebagian orang menekukkan lengan tangan, mendekapkannya bak pelukan. Sebagian lagi menggosokkan bagian tubuh untuk bersalaman. Tak sedikit yang mendempetkan tempat duduknya ke tengah.
Suasana pegunungan tinggi itu sedikit mencekam. Kabut datang tanpa diundang. Gelap tak bisa diindahkan. Gelegar petir menyambar terus-terusan. Sorotan beberapa lampu dari depan dan belakang panggung juga tak lagi menerangi area perkumpulan. Hujan badai menerpa, listrik padam tak dating tiba-tiba.
Suasana itu mirip simulasi kehidupan yang dialami seorang pendaki gunung saat cuaca tak bersahabat. Mirip juga dengan simulasi bencana hidrometerologi yang sudah tak terhitung jumlahnya di Indonesia.
Baca Juga: EIGER Mountain & Jungle Course 2023 di Merbabu: Kelas Ekspedisi Gunung dan Hutan
Situasi ini membuat semua perwakilan dari 27 mitra Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) dari Jawa dan Bali sepakat. Mendaki gunung atau meliput tragedi bencana alam memerlukan persiapan matang. Bekal materi saja tidak cukup.
Eiger Adventure Service Team (EAST) Manager yang juga pendaki legendaris tanah air, Galih Donikara sudah membuktikannya. Fisik, mental, perlengkapan, dan pengetahuan adalah ilmu dasar para pendaki gunung. Berlaku juga untuk jurnalis di luar ruangan.
"Bahanya bisa dari alamnya atau lokasi kejadian dan kedua adalah bahaya yang ditimbulkan diri sendiri," kata mantan salah satu pendaki gunung tertingi di dunia itu dalam Eiger x PRMN Journalist Camp 2023 kedua tahun ini.