Dalam kamus Lisanul Arab, "barakah" dimaknai sebagai an-mâ' waz ziyâdah, tumbuh dan bertambah. Sebagian ulama merinci lagi bahwa berkah adalah bertambahnya kebaikan (ziyâdaatul khair).
Kebaikan yang dimaksud tentu bukan kenikmatan duniawi, melainkan tingkat kesadaran kita kepada Allah, taqarrub ilallah.
Berkah dengan demikian tidak terkait dengan banyak atau sedikitnya harta benda. Orang yang kaya raya bisa jadi tidak mendapat keberkahan hidup ketika harta bendanya justru membuatnya merasa perlu dihormati, merendahkan orang miskin, berfoya-foya, atau untuk aktivitas maksiat.
Sebaliknya, kemiskinan bisa mendatangkan berkah saat hal itu melatihnya bersabar, mensyukuri nikmat, atau bersikap baik kepada tetangga.
Berkah juga tidak harus berhubungan dengan kesehatan. Sebab, kondisi sakit pun kadang bisa membuat orang introspeksi diri (muhasabah), taubat, dzikir, dan mengingat-ingat hak-hak orang lain yang mungkin ia langgar.
Meskipun, sakit pun juga bisa berbuah malapetaka ketika seseorang justru lebih banyak mengeluh, mencibir karunia Allah, atau melakukan sesuatu yang melampaui batas.
Tempat yang berkah tak mesti subur, sejuk, atau yang pemandangannya indah. Buktinya Allah memberi keistimewaan kepada tanah Makkah yang gersang. Begitu pula dengan waktu.
Waktu yang berkah belum tentu saat-saat hari raya atau hari berkabung. Namun keberkahan waktu itu datang manakala segenap peristiwa di dalamnya membuat kita semakin dekat dengan Allah.
Hadirin Rahimakumullah
Terkait dengan berkah atau barokah, Rasulullah memberi teladan kepada umatnya untuk memanjatkan doa ketika memasuki bulan Rajab: