Berbeda dengan sebagian ulama Syafi’i sentris, seperti Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam as-Sulami (660 H), misalnya. Ia justru berpendapat, lebih afdhal membersihkan mulut daripada membiarkannya dalam keadaan bau.
Dalam hal ini, baik Imam Syafi’i maupun Syekh ‘Izzuddin, senapas untuk berdalil dengan hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu:
لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك
Artinya: Sungguh bau mulut orang berpuasa, lebih harum di sisi Allah daripada aroma misik (sebutlah kasturi). (HR al-Bukhari dan Muslim).
Baca Juga: Hukum Mencicipi Makanan Saat Puasa Ramadhan Membatalkan atau Tidak? Ini Penjelasan Ustad Abdul Somad
Dari hadits diatas, sang pendiri mazhab Syafi’i mengatakan, ketika Allah mengaitkan antara bau mulut orang puasa dengan pahala yang begitu besar.
Karena itu, makruh hukum membersihkannya.
Sedangkan Syekh ‘Izzuddin tidak hanya berhenti di sini, tetapi meneruskannya ke tingkat analogi hukum (qiyas).
Lebih hematnya, ini bukan semata tentang bau mulut, tetapi pahala di balik bau mulut tersebut. (Syekh ‘Izzuddin, Maqâshid ash-Shaum, halaman: 13).
Baca Juga: Hukum Air Wudhu Tertelan Saat Puasa Ramadhan, Puasa Bisa Batal?