Khutbah I
الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْاٰنَ أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْاٰنِ: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ (البقرة: ١٨٣
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
Takwa adalah sebaik-baik bekal untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Oleh karena itu, khatib mengawali khutbah yang singkat ini dengan wasiat takwa. Marilah kita semua selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah swt dengan melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan segenap larangan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
Ibadah puasa memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah yang lain. Di antaranya adalah seperti yang disabdakan oleh Baginda Rasulullah saw:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ اٰدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Artinya: Setiap amal baik anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu kebaikan balasannya adalah sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Allah ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi): “Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu milik-Ku dan Aku langsung yang akan membalasnya, orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku” (HR Muslim).
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa puasa adalah milik Allah. Kenapa puasa disebut secara khusus sebagai milik Allah? Padahal semua kebaikan dan seluruh ibadah pada hakikatnya adalah milik Allah. Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud karena puasa adalah ibadah yang jauh dari niat riya’ (melakukan ketaatan bukan karena Allah, tapi karena ingin mendapatkan pujian dari sesama hamba).
Ketika seseorang sedang berpuasa, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali Allah dan diri orang yang berpuasa itu sendiri. Berbeda dengan ibadah-ibadah lain yang tampak dan bisa dilihat oleh banyak orang, ibadah puasa tidaklah tampak dan tidak dapat ditampakkan kepada orang lain kecuali dengan ucapan dari pelakunya bahwa ia sedang berpuasa.
Baca Juga: Khutbah Jumat NU Terbaru Menjelang Ramadhan, Teks Singkat Lengkap dengan Doa
Tidak bisa dibedakan antara orang yang tidak makan karena diet dengan orang yang tidak makan karena berpuasa. Orang yang sedang berpuasa, sangat mudah baginya menyelinap ke dapur untuk makan dan minum, misalkan, lalu keluar dari dapur dan menampakkan diri seakan-akan ia masih berpuasa. Kenapa hal itu tidak ia lakukan?Karena tujuannya bukan ingin mendapatkan pujian dari sesama hamba. Yang dia harapkan semata-mata hanyalah ridla Alah ta’ala.