Saat Gunung Memilih Sendiri Siapa yang Boleh Menaikinya, Ikhtisar Eiger x PRMN Journalist Camp 2023

6 Desember 2023, 20:48 WIB
Catatan Journalist Camp PRMN X EIGER 2023, dari Ahlinya Galih Donikara dan Djukardi Meliputi Bencana Alam /Pikiran Rakyat/

 

BERITA DIY - Selepas Zuhur, Kamis, 30 November 2023, angin kencang terasa jelas menusuk tulang. Hujan deras beberapa kali mengguyur area Greenrock Cafee, Coban Rondo, Malang.

Sebagian orang menekukkan lengan tangan, mendekapkannya bak pelukan. Sebagian lagi menggosokkan bagian tubuh untuk bersalaman. Tak sedikit yang mendempetkan tempat duduknya ke tengah.

Suasana pegunungan tinggi itu sedikit mencekam. Kabut datang tanpa diundang. Gelap tak bisa diindahkan. Gelegar petir menyambar terus-terusan. Sorotan beberapa lampu dari depan dan belakang panggung juga tak lagi menerangi area perkumpulan. Hujan badai menerpa, listrik padam tak dating tiba-tiba.

Suasana itu mirip simulasi kehidupan yang dialami seorang pendaki gunung saat cuaca tak bersahabat. Mirip juga dengan simulasi bencana hidrometerologi yang sudah tak terhitung jumlahnya di Indonesia.

Baca Juga: EIGER Mountain & Jungle Course 2023 di Merbabu: Kelas Ekspedisi Gunung dan Hutan

Situasi ini membuat semua perwakilan dari 27 mitra Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) dari Jawa dan Bali sepakat. Mendaki gunung atau meliput tragedi bencana alam  memerlukan persiapan  matang. Bekal materi saja tidak cukup.

Eiger Adventure Service Team (EAST) Manager yang juga pendaki legendaris tanah air, Galih Donikara sudah membuktikannya. Fisik, mental, perlengkapan, dan pengetahuan adalah ilmu dasar para pendaki gunung. Berlaku juga untuk jurnalis di luar ruangan.

"Bahanya bisa dari alamnya atau lokasi kejadian dan kedua adalah bahaya yang ditimbulkan diri sendiri," kata mantan salah satu pendaki gunung tertingi di dunia itu dalam Eiger x PRMN Journalist Camp 2023 kedua tahun ini.

Kolaborasi Journalist Camp 2023 PRMN x Eiger Implementasi 4 Fundamentall Skill Penting Jurnalis dalam Melaporkan Acara di Kondisi Ekstrim dan Bencana tangkap layar

Angin topan, badai, hujan deras, petir, hingga medan yang longsor dapat menyebabkan bencana alam. Persiapan matang mampu memperkecil potensi hilangnya keberadaan dan nyawa seorang di penanjakan.

Baca Juga: Luar Biasa! Eiger Bikin Rekor Jualan dengan Omzet 16 Kali Lipat di Shopee Live

"Kadang gunung memilih sendiri siapa yang boleh menaikinya," tandasnya.

Luapan soal alam yang marah terhadap manusia juga bukan isapan jempol belaka.

Karenanya, kesesuaian jenis dan jumlah sampah yang dibawa naik dan diangkut pulang saat turun gunung menjadi salah satu hal kecil yang diterapkan di beberapa pos pendakian di Indonesia, untuk menjaga kelestarian alam.

'Kalau kita jaga alam, maka kita juga akan dijaga olehnya,' kata pria yang juga pernah menapakkan kakinya puncak tertinggi dunia, Mt. Everest.

Baca Juga: EIGER Riding Hadir di Indonesia Kustom Kulture Festival KUSTOMFEST 2023 Yogyakarta

Djukardi "Bongkeng" Adriana, pendaki gunung legendaris lainnya, juga cerita tentang persiapan matang bagi para wartawan saat meliput bencana. Ini disampaikan dalam sesi sharing session bertajuk "Preparing How We Reporting Under Extreme Conditions/Disaster Coverage" kala itu.

Catatan Journalist Camp PRMN X EIGER 2023, dari Ahlinya Galih Donikara dan Djukardi Meliputi Bencana Alam

Abah Bongkeng, sapaannya, bercerita. Ia dan tim pernah memberikan tumpangan ke sejumlah wartawan yang tak mampu mencapai titik akhir saat meliput tragedi kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor, 9 Mei 2012 silam.

Sejumlah juru warta tersebut gagal menuju lokasi bencana karena tak lebih dahulu mempelajari medan dan mempersiapkan kekuatan fisik.

"Kemanapun pergi, untuk teknik hidup atau survival di alam terbuka. Hal itu yang harus diperhatikan. Jadi, fisik, mental, dan pengetahuan," saran pria yang pernah mendaki Gunung Merbabu dengan waktu tempuh hanya 4 jam, lebih cepat 3 jam dari pendaki muda lainnya.

Fisik, technical skill, environmental skill, dan human skill adalah 4 fundamental skill yang harus dimiliki pendaki dan wartawan saat bertugas di alam terbuka.

Hal itu juga yang membuat PT Eiger Multi Produk Industri (EIGER) menyiapkan divisi khusus, Eiger Adventure Service Team (EAST).

Tim ini turut serta membantu pendaki menjaga kelestarian alam, mempermudah jurnalis meliput kegiatan di alam, hingga  mendorong atlet-atlet panjang berprestasi di kancah internasional.

Konsistensi Eiger Terapkan ESG Jaga Kelestarian Lingkungan

Shulhan Syamsur Rijal, Public Relations Executive Eiger menjelaskan, semula kolaborasi dengan jurnalis dan pendaki ini terinspirasi dari produk-produk perusahaan yang awet dan bertahun-tahun dipakai oleh mereka yang sering melakukan aktivitas kegiatan di luar ruangan.

Sulhan Rijal (tengah) selaku Public Relation dari EIGER dalam acara Journalist Camp PRMN X EIGER PRMN

Lebih dari itu, komitmen Eiger menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk Indonesia lebih baik sudah diterapkan sejak lama, baik dari aspek Environment (Lingkungan), Social (Sosial), hingga Governance (Tata Kelola Perusahaan).

Eiger juga sudah lama merilis laporan keberlanjutan atau sustainalibity report sebagai bukti eksekusi praktik bisnis berkelanjutan dan menyusun road map Eiger ESG.

Melalui EAST, Eiger bahkan sudah lama membentuk Mountain Jungle Course, sekolah pendaki pemula penuh persiapan dan ikut aksi nyata melestarikan lingkungan.

Eiger Climbing Center didirikan di berbagai kota seperti Surabaya, Makassar, Bandung, hingga Bali untuk membina atlet panjat tebing muda di kancah nasional dan internasional.

Pada usianya yang ke-44 ini, Eiger bahkan masih terus meningkatkan kualitas produk buatannya melalui transfer of technology and skill dari berbagai negara maju di dunia. Tentu semakin ergonomis, berkualitas, dan cocok untuk kegiatan di alam.

“Kami masih terus menyesuaikan produk kami dengan standar kualitas di Swiss dan Eropa. Standar mereka jauh lebih tinggi dari Indonesia,” kata Rijal usai menjelaskan soal pembukaan store Eiger terbaru di Interlaken, depan Gunung Eiger, Swiss.

“Harapannya produk-produk kami juga semakin nyaman buat naik gunung-gunung di dunia dengan suhu hingga -5 derajat sampai -10 derajat celcius,” tambah alumni Ilmu Komunikasi UGM ini.

’Keberlanjutan tidak lagi berarti mengurangi dampak buruk. Ini tentang berbuat lebih banyak kebaikan.’’, Jochen Zeitz.***

 

 

 

Editor: Iman Fakhrudin

Tags

Terkini

Terpopuler