Teks Materi Khutbah Jumat Bulan Dzulhijjah tentang Keutamaan Bulan Dzulhijjah dan Idul Adha 2022 Singkat

- 30 Juni 2022, 19:06 WIB
Ilustrasi - Berikut contoh teks khutbah Jumat bulan Dzulhijjah tentang keutamaan bulan Dzulhijjah dan Idul Adha.
Ilustrasi - Berikut contoh teks khutbah Jumat bulan Dzulhijjah tentang keutamaan bulan Dzulhijjah dan Idul Adha. /Pixabay/ konevi

Pertama, instrospeksi mendalam. Yaitu tentang apa-bagaimana dengan keberlangsungan paruh pertama hari-hari Dzulhijjah yang telah lewat. Contoh riilnya, kita mungkin belum mengetahui tentang penting dan istimewanya 10 hari pertama Dzulhijjah. Sehingga belum melakukan perubahan atau peningkatan ibadah sebagaimana disabda Nabi Saw di atas. Atau mungkin belum biasa melakukan puasa sunnah Tarwiyah dan Arofah. Sehingga karena itu, perlu memancang niatan yg kokoh dari sekarang, untuk melakukan puasa kedua hari tersebut ditahun mendatang.

Jamaah Jumat yg berbahagia.

Semangat Dzulhijjah berikutnya yang perlu digenggam erat adalah memahami makna Haji secara hakekat, yang selanjutnya dikerjakan sesuai dengan tingkat mampu masing-masing. Al Hajju ’arofahu. Haji adalah berhenti di Padang Arofah. Berhentinya segala aktifitas dunia dan kehidupan, di sisi Dzat Yang Maha Luas. Sebuah usaha menghentikan aktifitas kehidupan maupun nafas dalam rangka membuktikan ma’rifat kepada Allah Azza wa Jalla. Karena demikian luhur dan mulianya, maka ada syarat rukun yang harus dipenuhi. Mulai berpakaian (sandang papan pangan) yg suci, menggambarkan sucinya jiwa raga. Wuquf (berhenti) di Padang Arofah. Thawaf mengelilingi ka’bah 7 kali. Sya’i (lari kecil) dari Shofa ke Marwah. Lari kecil adalah bersegera, bukan berjalan dengan santai apalagi diam. Dari Shofa ke Marwah, dari kampung dunia menuju kampung akherat. Kampung akherat yang jauh di angan (masuk wilayah imajiner) perlu diambah dari sekarang, dengan bersegera. Kemudian tahallul, memotong rambut yang merupakan simbul mahkota jiwa raga. Mahkota yang sebenarnya adalah berbagai bentuk ego, gengsi, emosi, pengakuan, harga diri, dst, yang semuanya kental menyatu dengan nafas. Itu semua yang harus dipotong dari menempelnya pada jiwa raga.

Baca Juga: Teks Khutbah Jumat Lengkap Dengan Doanya Singkat, Menyentuh Hati Tentang Pertimbangan Menunaikan Ibadah Haji

Sidang Jumat yang berbahagia

Semangat Dzulhijjah berikutnya yang perlu kita pegang teguh adalah semangat berkurban. Yang dikorbankan adalah binatang. Adalah gambaran nafsu bangsa hewan. Nafsu ini maunya hanya memburu nikmatnya makan dan syahwat (syahwat yang dalam arti berbagai bentuk kesenangan). Ini yang perlu diluntur sedikit demi sedikit. Dilatih untuk dikorbankan, bahkan disembelih pelan-pelan dari jiwa raga. Jadi bukan semata-mata berkorban binatangnya. Melainkan banyak makna sekaligus.

Disamping makna sosial dan kesehatan, sebagai realisasi hablum minannas dan pemenuhan gizi saudara sehamba yang kebetulan kurang mampu. Makna korban itu sendiri, bila diurai secara deferensial, adalah kangelannya jiwa raga melepaskan kesenangan/kecintaan pada sesuatu yang dimiliki. Melepaskan akon-akon yang menempel pada diri. Apapun yang dimiliki, sedikit demi sedikit dilepas rasa memiliki handarbeninya. Oleh karenanya, apapun yang dimiliki, utamanya harta benda, pada dasarnya bisa dikorbankan. 

Namun demikian, Jamaah Jumat yang berbahagia Selain kurban harta benda, semangat Dzulhijjah yang perlu dilatih untuk dikurbankan berikutnya adalah korban non harta. Meliputi korban harga diri, korban pengakuan, dan korban perasaan.

Korban harga diri adalah mengorbankan nilai-nilai diri yang biasanya dipatok pada standar tertentu. Misalnya elit pejabat yang hanya mau bergaul hanya dengan sesama pejabat. Harga diri seperti ini perlu dikorbankan, sehingga mau bergaul dengan kawulo alit. Menyadari bahwa sesama hamba punya kedudukan yang sama dihadapan Tuhan. Tidak terkastakan oleh harta, jabatan, kedudukan, keturunan, warna darah, dan sebagainya. Karenanya perlu menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya. Sebab yang menjadikan beda di sisi Tuhan hanyalah tingkat keimanan dan ketaqwaan masing-masing.

Berikutnya, korban pengakuan. Adalah mengorbankan segala bentuk pengakuan; baik pengakuan kebisaan, kepandaian, kepunyaan, kepahaman, dan berbagai macam rumangsa lainnya, menjadi tidak di aku. Jelasnya, ketika merasa bisa atas sesuatu, perasaan bisa tersebut dikorbankan untuk merasa tidak bisa. Walaupun secara lahir memang bisa sesungguhnya dan bahkan syukur profesional. Tetapi secara batin dikorbankan, dengan melatih diri tidak ngaku dan tidak merasa bisa. Demikian halnya pengakuan-pengakuan yang lain, kesemuanya perlu dilatih untuk dikorbankan.

Halaman:

Editor: Inayah Bastin Al Hakim


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x